Kamis, 29 Mei 2008

two hunters

Rating:★★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:wolves in the throne room
Ini band black metal paling apokaliptik yang pernah saya dengar di tahun ini. Galau. Putus Asa. Perih. Melarat...semua rasa yang berkaitan dengan 'raheut' hadir di album kedua wolves in the throne room ini. ada empat lagu di two hunters. musikalitasnya sendiri edan: suram. ambient, noise, dan riff-riff repetitif yang berdurasi hingga 19 menit numpuk di sana-sini! Bagi yang dilanda kegalauan cinta yang berkepanjangan coba dengarkan wolves in the throne room. SANGAT DIREKOMENDASIKAN. Penderitaan tidak akan pernah terasa seperih mendengarkan band dari Olympia, US, ini, saudara-saudara.

Rabu, 28 Mei 2008

Sambolo, Ibukota dan Heartbeat Tahiti 80 (Cornelius Remix)

Minggu, 25 Mei 2008, ia turun dari bus di Senayan. Kulihat ia sibuk menekan-nekan tombol telepon selularnya. Ingin dijemput, mungkin. Ibukota sekitar pukul 3 sore itu terasa terang-benderang sekaligus panas. Angin yang berhembus terasa kering saat pintu bus terbuka. Lalu, gedung-gedung yang tersebar di Senayan terasa ingin menohok keangkuhan langit: begitu megah, begitu tinggi.      

Bus mulai pelan melaju setelah sebagian penumpang yang di-drop di Senayan turun. Saat itu, saya tidak peduli, saya tidak ingin menoleh. Hanya selintas saya melihatnya sedang menelepon seseorang. Masa bodoh…masa bodoh! Ayo cepat, Pak Supir, tancap gas pol-polan. Cepat bawa bus ini menuju Bandung!

Sebelumnya saya sudah punya niat: melupakan. Saya ingin pergi dari segala-galanya, saya ingin melupakan semuanya. Saya ingin berada di suatu tempat pada suatu hari dimana saya hidup hanya untuk saat itu saja. Tanpa harus dibebankan urusan yang belum selesai, dihantui kebodohan-kebodohan yang telah dilakukan di masa lalu. Maka dari itulah, undangan pesta di Sambolo dari angkatan 06 pada 24 Mei itu saya amini sepenuh hati. Hanya ada ombak, lamunan dan bodoran garing teman-teman. Sudah. Ini akan menjadi hari liburan saya satu-satunya saat ini. Itu yang ada di alam pikiran sebelumnya.

                Malam hari, 23 Mei, Bus yang saya tumpangi melaju semakin cepat dan berada di samping bus 2. Seorang teman dari bus 2 mengacungkan jari tengahnya. Tentu saja, secara bobodoran garing, saya membalas acungan jari tengahnya. Bus melaju semakin cepat. Perlahan jendela demi jendela bus 2 dilalui dan terlihat aktivitas orang-orang didalamnya. Ada orang-orang yang mempunyai niat yang sama di dalam bus itu, liburan ke Sambolo. Ada yang main gitar, ada yang ketawa-ketawa, ada yang bengong, dan tiba-tiba di jajaran tengah tempat duduk bus 2 ada ia yang melambai-lambaikan tangannya. Oh, dia juga ikut rupanya. Baiklah. Setelah selama ini menghilang (entah menghindar), di malam itu dia melambaikan tangannya. Bus melesat dan  meninggalkan bus 2.

                24 Mei. Liburan di pantai. Bila elemen pendukungnya adalah ombak dan kehadiran teman-teman, maka hasilnya selalu sama saja. Seperti di Batu Karas tahun lalu. Seorang teman yang antusias berseru, “Hayu kita lihat cewe-cewe cantik!”

                Saya kabulkan. Tetapi tahukah apa yang terjadi kemudian? Kami terpuruk. Tepar mabuk parah, hampir tidak ingat apa-apa dan nyeri di sekujur tubuh saat bangun. Tidak ada ‘cewe-cewe cantik’, tidak ada aksi. Dengan kata lain, sudah terlalu lama - kurang lebih 3 tahun - kami melakukan hal-hal nihilistik. Tiada guna, selain mengumbar banyolan-banyolan kosong melompong. Bagi saya, seperti lari dari masalah satu ke masalah lain dengan bersembunyi di dalam kerumunan orang anonimous. Identitas direduksi ke titik yang paling rendah.

                Di Sambolo pun kurang lebih seperti itu. ombak, kehadiran teman, panitia yang kerepotan dan susunan acara yang mungkin inginnya menunjukkan “kekompakkan angkatan”-nya. Cih, Kamu ingin lihat yang namanya kompak? Coba lihat kami membawakan lagu Pure Saturday. Itu baru kompak namanya: seteman gitar saya dan Yoyon jauh dari kata sinkron. Intinya, ya, begitu itu. Liburan di pantai kembali seperti itu. Begitu lagi.

                Pagi-pagi sekali, ada ‘rasa baru’ saat pertama kali menyusuri pantai. Melihat ke kejauhan laut, teringat Kono. Ia tidak ikut ke Sambolo, tapi ia begitu terobsesi dengan ‘pelaut yang mencintai’. Cinta Seorang Pelaut. Selalu kata-kata itu diulang jika ia berbicara tentang wanita. Saya angguk-angguk saja bila sudah begitu. Sebetulnya saya tidak mengerti juga apa yang dimaksud dengan ‘cinta seorang pelaut’. Saya pun tidak berminat untuk menanyakannya. Tapi saya amini saja.

                Duduk-duduk di depan cottage. Di alam pikiran adalah ingin melupakan dan lari dari segalanya. Tetapi, kemarin malam ia kembali hadir. Bung Rull, yang emang dasarnya gelo, ngomong, “kumaha atuh euy?”

                Saya bilang aja teu nanaon lah. Tapi, yang namanya dadakan mah emang perlu improvisasi. Dan itu yang saya ga punya. Saya malah keukeuh: liburan, liburan, pokoknya liburan! Tapi, tetep aja perlahan ada yang mencair seperti es batu ketika di simpan di tengah padang pasir. Sesekali mata jebol dari penjagaan dan memandang ia yang terlihat sedikit gemuk  sekarang. Sesekali juga mata kami beradu pandang. Saya tahu dan Ia tahu, tapi itu saja belum cukup, kata orang-orang. Bah, omong kosong juga jadinya. Sempat terlintas pertanyaan bodoh: kenapa juga Tuhan harus menciptakan manusia berpasang-pasangan? Kenapa juga manusia tidak diciptakan seperti Godzilla yang bisa bikin anak sendiri tanpa harus ada pasangannya. Mungkin akan sedikit lebih damai dunia bila begitu: Shakespeare ga perlu nulis novel Romeo and Juliet dan ga perlu ada ‘Hikajat Sitti Nurbaja’ yang ditulis oleh Marah Rusli.  

                Masih di Sambolo, 24 Mei, dan memandang jauh ke laut. Laut itu luas dan lega. Kedua kata itu, ‘luas’ dan ‘lega’, bagiku mempunyai kedekatan dengan kata ‘lapang’ yang berkaitan juga dengan suasana hati. Lapang hati, ada di kamus. Artinya merasa lega. Sebelum berangkat ke Sambolo, perlahan hati ini dilapangkan juga oleh Mamed, Jurad, Jurve, KKN dan setumpuk rutinitas lainnya. Untuk itu, di alam pikiran awal, saya ingin menuntaskannya di Sambolo ini. Karena sudah lama saya tidak merasakan kelapangan hati yang seperti itu. Tetapi, tetap, setiap hal yang berbau dadakan memang membutuhkan  improvisasi.

                Melihatnya duduk-duduk di bawah pohon kelapa sembari tertawa, seakan-akan mengingatkan kebodohan yang berulang-ulang dilakukan. Seperti benar-benar menjelaskan, bahwa diri ini minim betul akan kapasitas dan kompetensi. Tidak berguna. Ah, rendah diri. Maut memang. Untunglah ada Bung Rull dan Ipen yang sedang meributkan daerahnya masing-masing: Pasir Koja versus Holis Kopo! Saya pun nimbrung dengan membawa daerah tempat saya tinggal selama ini: Margahayu Raya. Melupakan.

Ah, engkau ke ladang, aku kesawah. Aku ke sawah, engkau ke ladang. Tidak ada dialog diantara kita. Maaf.

                Minggu, 25 Mei, ia berdiri di depan bus 3, bus yang saya tumpangi. “Mau sekalian pulang ke Jakarta,” katanya sambil berlalu masuk ke dalam bus.

                Seperti dahulu rasanya. Engkau di depan, aku di belakang. Namun bedanya, ini bus bukan kelas. Sejarah berulang dan kebodohan pun tetap yang itu-itu saja. 666 kali terperosok di dalam lubang yang sama.  Pembangkit listrik di Cilegon begitu indah. Mungkin akan sangat indah bila malam telah tiba. Saat melewati pembangkit listrik itu, saya pun sebenarnya sudah berulang kali menyadarkan dan meyakinkan diri sendiri: Oh, ini tidak akan berhasil. Dia membutuhkan seseorang yang benar-benar ia yakini dan saya benar-benar orang yang cupu. Lihat, ada dua tipe manusia yang kontradiktif secara akhlak dan mental disini. Ditambah, budaya yang berlaku di tempatku hidup adalah budaya yang men-superior-kan kaum lelaki. Berarti saya harus mahfum dan harus belajar untuk paham. Terakhir, dari kelakuannya selama ini pun, terasa, mungkin ini memang tidak akan berhasil. Kamu tau ini tidak akan berhasil.

                Kelapangan yang sempat meliputi hati memang terusik. Apalagi melihat ketawa khas-nya di saat perjalanan pulang itu.  Matanya yang bening. Tetapi, sudahlah. Liburan harus menjadi liburan.  Tidak seperti apa yang ada di alam pikiran awal memang. Baiklah, mungkin ini semua hanya akan memakan waktu selama liburan ini saja…dan beberapa hari setelahnya, mungkin. Pastinya, kelapangan itu harus dikembalikan kembali ke tempat asalnya. Dipulihkan kembali.

                Saat bus sudah meninggalkan Senayan, ada ke-tidak puguh-an. Semacam pikiran-pikiran: apa yang harus dilakukan, harus bagaimana, kenapa semua berjalan seperti ini. Semuanya seakan-akan mengingatkan inkompetensi yang sama, yang itu-itu saja. Walaupun tidak akan berhasil, namun tetap dorongan dan tuntutan itu selalu saja merongrong. Menambah ruwet pikiran, menekan, membuat hati dan otak lelah. Ia - yang sekarang mungkin sudah dijemput - seakan menutup pantai, teman dan acara yang telah terekam di dalam kepala. Ah, melelahkan memang….

                Bangun dari tidur, terlihat papan reklame nama sebuah warung dengan huruf kecil dibawahnya bertuliskan: Purwakarta. Sudah cukup jauh juga meninggalkan Jakarta. Masih terasa hawa Senayan. Di sebelahku ada Bung Rull dan Bung Ganjar.  Kompatriot selama ini. Di belakang ada Bung Auzan yang pendiam mendengarkan lagu dari telepon selularnya.  Saya pinjam telepon selularnya. “Terlalu sepi ga ada musik,” kataku padanya.  

Mataku langsung tertuju ke mp3 remix Heartbeat milik Tahiti 80.

Play.

                Perlahan suasana hati berubah. Betapa cepat memang suasana hati bisa dibalikan. Jadi mengerti juga, kenapa suami yang kalah judi bisa gelap mata dan menggadaikan perhiasan milik istrinya sendiri tanpa bilang-bilang. Sorotan terik matahari sore menimpa muka kedua kompatriot yang sedang ketawa-ketawa tidak jelas di sampingku: Bung Rull dan Bung Njar. Mereka yang selama ini melakukan hal-hal nihilistik bersama. Begitu indah suasana sore saat itu. Saya pun ikut tertawa, walaupun tidak tahu dan tidak terdengar apa yang mereka obrolkan. Lagu Tahiti 80 memenuhi telingaku. Akhirnya aku bisa lari, bisa lupa sejenak dari segala-segalanya. Saya lihat ke depan, ada Bung Ndro yang tertawa-tawa juga. Ke belakang ku lihat Auzan yang sedang melihatku juga. Dari gerakan bibirnya ia seperti mengatakan, “naon?”

                Saya tertawa dan menggelengkan kepala. Untuk sebuah kesenangan, sepertinya dibutuhkan setengah dosis kesedihan juga. Miris. Tetapi, sudahlah. Earphone saya lepas. Terdengar deru mesin bus dan tawa teman-teman yang mengeras. Pilih speaker on dan putar kembali Heartbeat remix. Terdengar kocokan gitar akustik yang tricky dan sample-sample yang unik. Ada yang bernyanyi: Enough for me is not much for you…volume maksimum. Saya acungkan tinggi-tinggi telepon selular agar musik itu terdengar ke seluruh bus. Saya menginginkan semua orang di bus itu mendengarkan lagu ini. Nada-nadanya yang membuat suasana, yang membuat semuanya berubah saat itu juga. Saya berharap semua yang ada di bus bisa merasakan juga moodnya yang ceria. Sebagaimana aku merasakan semuanya hari itu.

Di jajaran belakang bus, ada Bung Bach, Bung Njar, Bung Sahrull, Bung Praga, Bung Cakri, Bung Tio, Bung Ndro dan saya. Ada kami. Pastinya, ada bodoran-bodoran nihilistik yang super garing.

“Ndro, kumaha euy, Jakarta geus lewat. Teu sempet ningali Monas atuh?! Di Kopo mah euweuh bangunan nu jiga Monas pan?”

“Enya euy, Bo, urang ge hayang ningali BUSWAY tea geningan. Nu jiga kumaha sih?”

“BUSWAY teh belah mana PT. Inti, Ndro?” Bung Rull tiba-tiba bertanya.

Tawa meledak.

Lagu berganti ke Tears Drop yang dibawakan oleh Massive Attack.

Selasa, 20 Mei 2008

Ketika Kami Sendiri dan Meresapi Kesunyiannya Masing-Masing

Di tempat kami menghabiskan waktu akhir-akhir ini, ada suatu nilai yang dicoba untuk ditanamkan kepada setiap orang. Nilai-nilai itu berkaitan dengan cara bagaimana kami memandang dan menyikapi sesuatu. Selalu ditanamkan dalam benak kami, bahwa kelak segala tindak-tanduk kami ini mempunyai pengaruh bagi kehidupan masyarakat. Bila membicarakan masyarakat, berarti itu membicarakan jumlah orang yang banyak. Bahkan, saking pentingnya kami kelak, kami disandingkan setelah tiga pilar yang konon menguasai hajat hidup orang banyak selama ini, yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif.

    The 4th estate. Pilar kekuasaan keempat. Itulah kami, katanya, setelah ketiga pilar kekuasaan itu selesai disebutkan. Ada syarat yang harus dimiliki bila kami ingin menjadi pilar yang keempat. Ada nilai-nilai luhur yang harus dipegang teguh. Karena kami, katanya, adalah orang-orang terpilih yang akan menyuarakan mereka yang tidak pernah terdengar atau didengar oleh ketiga pilar kekuasaan itu. Seorang kawan, bahkan menyebut kami sebagai ‘the person who speaks for the inarculate’.

            Seseorang dalam sempitnya ruangan kelas, mengatakan dibutuhkan nyali yang tidak kecil untuk menyuarakan mereka yang tidak didengar. Keberanian. Itu yang tertanam dalam benak kami, saat baru-baru memasuki tempat dimana kami menghabiskan waktu selama ini. “Bila tidak berani, bagaimana bisa mendapatkan informasi?!” katanya.

            Setelah itu, seorang wanita yang pernah mengatakan ‘we’re gonna spend the rest of our lives here’ dengan nada suara tinggi di muramnya pagi, mengatakan, bahwa kecepatan adalah segala-galanya bagi hidup kami. Apabila tidak begitu, “bagaimana kita bisa menyampaikan informasi tepat pada waktunya?” katanya.

        Tertanam dalam benak kami, kami harus seperti apa yang mereka katakan: keberanian dan kecepatan. Kami tidak sama dengan yang lainnya. Ada nilai lebih dalam diri kami, kata perempuan itu. Kami adalah orang yang akan menyuarakan mereka yang tidak didengar. Kami berpengaruh dan penting bagi orang banyak, nantinya. Oleh karena itu, kami harus bekerja keras, kami harus kritis, karena kami berbeda dan berpengaruh, nantinya.

    Di suatu waktu dalam lorong gelap dan sempit, sehingga membuat kami berdesak-desakkan pun, kami mendengar teriakan. Sebuah teriakan yang menghapus kantuk dan mengagetkan. ‘Aku bukan insan biasa!’, seperti itu bunyi teriakannya. Di kegelapan pagi kami megap-megap, setengah sadar, namun terasa sesuatu melewati telinga dan terekam dalam benak. Kami bukan insan biasa.

             Ada yang dicoba untuk dirubah dan ada yang merubah dan ada yang berubah dari kami, hingga saat ini.

        “Ya, saya mengakui, saya melakukan cloning,” seseorang yang telah keluar dari tempat kami, berkata di hamparan pasir batu karas.

        Masalahnya bukanlah bagaimana dunia menyesuaikan, tetapi bagaimana kami menyesuaikan. Itu yang saya tangkap dari omongannya.

            “Karena kita tak ubahnya buruh bagi korporasi-korporasi itu!” ia melanjutkan, “coba saja bayangkan, dalam satu hari kita diharuskan mendapat informasi sebanyak tiga buah. Namun, ketiga informasi itu terletak di daerah berjauhan. Nah, bagaimana mungkin kita berada dalam tiga tempat yang berbeda dan berjauhan dalam waktu yang sama?! Sedangkan bila saya tidak mendapat satu pun dari ketiganya, mau makan dari mana saya?!”

            Runtuhlah apa yang telah ditanam dalam dirinya. Tempat yang kami tinggali saat ini begitu berjauhan dengan tempat yang ia tekuni saat ini. Tempat kami begitu sempurna. Nilai-nilai yang ada begitu luhur dan mengagumkan. Begitu indah untuk dijalani. Sedangkan tempat yang ia tempati saat ini, begitu suram dan sumpek. Hal yang terhampar di hadapan kami saat di Batu Karas itu hanyalah sebuah bingkai yang diisi oleh potret manusia yang letih. Seakan ringkih dan kuyu. Tertelan oleh rutinitas dunianya sendiri.

        Di lain pihak, keberanian dan kecepatan yang telah dibicarakan di atas itu memang benar ada. Namun keberanian dan kecepatan dengan konteks yang jauh berbeda dengan yang diajari di tempat kami berada saat ini. Itulah yang saya lihat pada dirinya, seseorang yang mengeluarkan keluh-kesahnya di Batu Karas itu. Saya pikir, melakukan tindakan cloning seperti yang dikatakannya itu adalah buah dari keberanian yang dimilikinya.

Keberanian untuk melakukan hal yang tidak dianjurkan di tempat kami berada sekarang. Mungkin saja keberanian itu timbul bukan karena ajaran-ajaran yang harus kami terima dan percayai, seperti yang selama ini sering di terima di tempat kami berada. Bisa saja keberanian itu timbul pada dirinya, karena tuntutan-tuntutan yang harus ia terima dalam hidupnya. Sebuah tuntutan atas kecepatan yang pada gilirannya menentukan penghasilan hidupnya. Menggantung bagaimana hidupnya kelak.

Namun, bila begitu caranya, terbesit pikiran, kami tidak sepenting seperti yang telah diajari kepada kami selama kurang lebih empat tahun ini. Tidak ada ode, tidak ada pengagungan, tidak ada pengkultusan. Di luar tempat kami berada saat ini, orang-orang seperti kami seakan terpencil dan terasing. Jauh dari kemewahan yang dibumbui pujian-pujian.

Orang-orang seperti kami yang hidup berpuluh-puluh tahun yang lalu (bahkan yang hidup sekarang), bila dipikir kembali, seringkali merasakan seperti apa diterasingkan, dimatikan, ditikam, dimiskinkan bahkan dikhianati. Tidak ada kesan penting bila memang menjadi penting itu dikorelasikan dengan kemewahan dan pujian-pujian.
***

Beberapa hari yang lalu, saya berkendara sendiri menuju kantor sebuah surat kabar untuk kepentingan tugas mata kuliah. Saya sendirian kala itu. Terpikir wajah teman-teman yang selama ini menyertai hari-hari saya. Mereka yang bersama-sama menghabiskan waktu di tempat itu. Akan seperti apa mereka, ketika keluar? Akan melakukan apa mereka. Apakah mereka nantinya akan sanggup membangun dunia seperti yang mereka angankan ataukah hanya akan menjadi salah satu manusia yang lusuh dan letih dalam sebuah bingkai seperti yang pernah kutemui di Batu Karas tahun lalu?

Terbayang, apakah nantinya akan seperti ini kehidupan di luar. Berkendara sendiri dengan beban tugas yang harus diselesaikan. Dengan tuntutan yang lebih kompleks lagi. Berkendara sendiri melewati perempatan, lampu merah, gedung pencakar langit yang sudah ribuan kali dilewati. Dan mungkin sesekali mengenang memori yang secara tidak sengaja tersimpan di beberapa trotoar atau gang-gang sempitnya. Terkadang indah, namun bisa juga menyesakkan. Miris.

        Dan ketika memasuki kantor surat kabar yang saya tuju, saya menemui sebuah bangunan lusuh. Tidak ubah seperti tempat grosiran dekat rumah, pikir saya saat itu. Begitu ala kadarnya. Kantor itu kosong, tidak banyak orang. Saya ingat, hari itu Rabu dan di hari Rabu, setiap karyawan di kantor itu mungkin bisa sedikit menghirup nafas lega, karena kemarin adalah harinya untuk naik cetak. Otot bisa dikendurkan sedikit setelah kemarin menegang karena tenggat waktu yang serasa memburu.

Di kantor itu saya mejumpai seseorang. Ia sudah tua dan menempati sebuah ruangan yang kecil dan sunyi. “Ruang itu adalah ruangnya sekretaris redaksi,” kata seorang perempuan yang saya temui ditempat penerimaan tamu, bagian paling depan kantor. Itulah orang yang akan saya wawancarai untuk kepentingan tugas mata kuliah.

Orang itu duduk dibelakang mejanya yang besar. Seringkali ia merubah posisi duduknya. Saat itu saya merasa risih dengan sikapnya yang sebentar-sebentar merubah posisi duduk. Entahlah, mungkin juga dia canggung dengan kehadiran saya. Orang asing yang tiba-tiba datang minta wawancara.

Topik wawancara saya dengan orang di ruangan yang kecil dan sunyi tersebut berkutat di seputar surat kabar yang dikelolanya. Tanya-jawab dengannya juga berlangsung standar, seperti sejak kapan surat kabar ini berdiri, bagaimana ceritanya bisa sampai begini, apakah dulu surat kabar ini begitu…bla-bla-bla.

Di sesi wawancara itu sesekali saya memperhatikan ruangan tempatnya bekerja yang kecil dan muram karena kurang cahaya matahari. Lalu, saya melihat ke sisi sebelah kiri di mana terdapat kaca besar yang dibaliknya terlihat seperti ruang untuk rapat redaksi. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan kelas tempat saya belajar, catnya kusam. Dihitung-hitung, ada sepuluh kursi di ruang rapat tersebut. Pandangan saya kembali pada orang yang sedang di wawancarai.

Bikin surat kabar itu terlalu berat di masalah modal, ya, Hari,” katanya sambil mengusap-usap wajah dengan tangannya.

Orang itu juga mengaku, apabila surat kabarnya tidak disubsidi oleh ‘perusahaan mapan’ seperti saat ini, mungkin semenjak pertengahan ’80 an juga surat kabarnya akan punah. Bangkar. Bayangkan saja, biaya sewa gedung, tagihan telepon, ongkos produksi hingga gaji beberapa wartawannya pun bersumber dari ‘perusahaan mapan’ tersebut.

Cuman punya 1 M mah mending jangan bikin surat kabar, Ri,” katanya.

tapi, setelah merenung sebentar, ia menambahi lagi ucapannya itu, “kecuali kalo Ashari ini mau menerbitkan koran yang hanya selama seminggu terbitnya, ya, itu baru bisa.”

        Saya rasa…saya rasa hal-hal seperti itulah yang membebani orang-orang seperti kami, nantinya. Apapun yang diajari di tempat kami sekarang, bisa saja jungkir-balik seketika itu juga ketika berhadapan dengan apapun yang tidak ada di silabus tempat kami berada sekarang. Mempengaruhi segala-galanya dari diri kami.

Kamis, 15 Mei 2008

The Red Album

Rating:★★★★★
Category:Music
Genre: Rock
Artist:Baroness
Ini adalah band dengan musik yang layak diapresiasi dengan maksimum, saudara-saudara. The Red Album adalah kombinasi dari keindahan dan kekacauan yang dilebur dengan sangat elegan. Perpaduan yang estetis dari jenis musik rock, stoner, blues, metal dan progresif. Seperti Mastodon dan The Sword mabok bareng dengan Sparta…kira-kira seperti itulah Barones ini.

Berbeda dengan band-band rock/metal lainnya yang selalu menawarkan nuansa kelam yang muram, di The Red Album saya merasakan suasana pencerahan yang positif. Hal itu sudah dimulai dari track pertama ‘Rays On Pinion’, dimana melodi-melodi yang disimpan di bagian intro itu terasa menggugah semangat hidup! Hehe, coba Anda mainkan lagu itu ketika Anda baru bangun tidur di pagi hari. Baru Anda mengerti apa yang saya maksudkan.

Setelah dibangunkan dengan ‘Rays On Pinion’, lagu dilanjutkan dengan ‘The Birthing’. Sebuah lagu yang grafik intensitasnya terus naik. Seperti mendengarkan Snapcase kembali ketika mendengarkan ‘The Birthing ini. Komposisinya benar-benar jenius. Inilah yang disebut dengan band, dimana struktur lagu secara keseluruhan adalah inti dari segalanya.

Ada sebelas track di The Red Album, dan dari kesebelas track itu, Baroness menyuguhkan gaya yang berbeda-beda satu sama lainnya. Gaya yang berbeda itu tidak membuat kesatuan sebuah ‘album’ tercerai-berai. Malah membuatnya menjadi kaya warna dan kreatifitas. Coba saja dengarkan track-track, seperti ‘Grad’, ‘Isak’, ‘Teeth of a Cogwheel’ dan ‘Cockroach En Fleur’. Perhatikan cara bermainnya dan juga komposisinya yang rumit. Maut.
Salut untuk teknik personilnya yang di atas rata-rata. Kerumitan komposisinya menjadi dua nilai lebih yang dimiliki Baroness.

Mendengarkan Baroness berarti mendengarkan: Mastodon, Sparta, The Sword, Pelican.

Jumat, 09 Mei 2008

fail words are meant to collapse (when you didn’t want to grasping)

Engkau ada di antara pencakar langit itu. Di tengah ruas jalan utama yang menyambungkan setiap usaha manusia akan impian yang ingin diwujudkannya. Di situ kau terdiam, barangkali juga kau kesal.

“Ibukota macet!” katamu.

    Mungkin juga yang ada di dalam benakmu saat itu adalah bagaimana menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Seperti kebiasaan mu yang kutahu selama ini dari cerita kawan-kawan. Bagaimana menguji kecepatan adalah kegemaranmu…namun, untuk kali ini, nampaknya ibukota tidak memberi mu ruang untuk berpacu dan melaju cepat. Ibukota, tempat dimana  berjuta orang menggantungkan harapan padanya, sama seperti aku dulu mengharapkanmu, untuk kali ini sepertinya belum memberi kesempatan.

    Saat itu sore menjelang, ketika kau memberi kabar tentang Ibukota kepadaku. Dan di kotaku saat sore hari, tergurat awan hitam di bentangan langit yang berwarna biru. Dan kau tahu, di suatu masa saat langit yang luas dan biru itu menjadi gelap gulita, dan satu-satunya cahaya hanyalah dari telepon selular seorang teman, pernah terdengar sebuah puisi:


Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah*


Tiba-tiba saja aku mengenangmu kembali. Lama tidak terdengar kabar darimu.


* Puisi karya Chairil Anwar berjudul Derai-Derai Cemara.

       

Sabtu, 03 Mei 2008

Perhelatan Besar

Sore hari sebelum perhelatan di mulai, saya dan teman saya, Yanyan, duduk-duduk di sisi kiri gedung empat kampus yang menghadap ke lapangan futsal. Di lapangan itu terlihat orang-orang – kebanyakan perempuan – sedang bermain futsal dengan lepas bercanda, ketawa-ketawa. Kami sangat terhibur melihat permainan mereka, ditambah semilir angin sore yang menyejukkan mengelus kulit ini. Memberi ketenangan.

            Teman di sebelah saya saat itu, Yanyan, adalah orang yang tidak banyak bicara. Kebanyakan dia hanya senyam-senyum saja. Walaupun, saya tahu, hari itu dia sebenarnya khawatir. Sama seperti diri ini yang juga mengkhawatirkan pertanggungjawaban yang jauh-jauh hari telah dibuat untuk dipaparkan di depan forum. Kekhawatiran kami bermuara kepada dua hal: apa yang harus kami katakan dan apa yang harus kami jawab kepada peserta forum.

            Di sore itu, ketika kami ngaso di sisi gedung empat, Yanyan sempat menanyakan perasaan saya tentang perhelatan besar. “Gimana, deg-degan?” katanya sambil tersenyum. Sebuah senyuman yang khas dari dirinya, orang ganteng dari Ciwastra. Haha.

            Saya bilang saja, tidak. Tapi, tidak tahu juga, dalam hati berbicara. Di sore itu, saya masih bisa tertawa-tawa, mengejek beberapa teman saya. namun, entah apa yang bisa terjadi ketika diri ini berada di depan forum, membicarakan kelakuan yang ‘tidak pernah beres’ selama setahun ini. Apalagi, forum itu diisi oleh orang-orang yang hebat dan kritis. Orang-orang yang selalu mencecar kemanapun engkau melangkah, menyusup seketika serta menyerang dengan mendadak dan tajam di saat celah yang ada dari dirimu terlihat.  Ah, malas membayangkannya.

            Di hari itu, di sebuah perhelatan puncak kerja kami selama ini, saya banyak menghabiskan ruang dan waktu bersama teman saya ini. Entahlah, saya merasa, untuk kali ini, saya dan Yanyan mempunyai beberapa kesamaan. Apalagi bila membicarakan yang namanya kekhawatiran. Saya dan dia sama-sama baru terjun dalam urusan ‘proker’ seperti itu. Dan, kamu mungkin pernah merasakan, ketika menemukan seseorang yang memiliki kesamaan dengan dirimu, kamu menemukan ketenangan didalamnya. Dan itulah kenapa saat itu saya begitu menikmati meluangkan ruang-waktu bersama Yanyan. Kekhawatiran dan kecemasan itu menjadi tidak terlalu mendominasi diri ini.

            Malam semakin larut. Namun jumlah peserta forum yang ada di ruang aula sebenarnya jauh dari perkiraan. Begitu lengang. Ada beberapa kawan yang duduk berkelompok di jajaran belakang, dekat pintu masuk. Kawan-kawan itulah yang membuat suasana tidak begitu sepi karena kelengangan. Mereka berteriak-teriak, melontarkan setumpuk argumen kepada presidium dan juga forum. Bagi beberapa orang, mungkin teriakan-teriakan mereka cukup menciutkan nyali dan mungkin itulah tujuannya, menguji mental. Tapi, entahlah, itu hanya asumsi saja.

            Yanyan, seperti biasa, hanya senyam-senyum saja. Dia teringat perhelatan tahun lalu, ketika dirinya ditunjuk menjadi presidium. Saat itu, dia dicecar oleh salah seorang teman, Baihaqi. Ya, saya ingat momen itu. Saya ingat bagaimana muka Yanyan begitu merah dan ekspresinya yang murung saat dicecar oleh Baihaqi.

            “Masa itu presidium kerjaannya cuman ngetok palu aja!” kata Baihaqi dulu kepada Yanyan dan saya ingat bagaimana Yanyan begitu mati kutu dicecar seperti itu.

              Sementara ruang aula ‘panas’ oleh teriakan-teriakan dan argumentasi-argumentasi yang dilontarkan kawan-kawan di jajaran belakang, kami tertawa-tawa beromantisme ria. Mengingat momen perhelatan tahun lalu. Mengingat bagaimana begitu gugupnya, ketika menjadi presidium. Harus duduk di depan dan menghadapi cecaran dan kadang makian dari orang-orang yang tidak setuju terhadap suatu hal. Bagaimana susahnya mengontrol ritme jalannya agenda, karena seringkali pembahasan ngelantur kemana-mana. Ada yang usul anu sambil mencak-mencak, ada yang nolak anu sambil berlaga paling pinter sedunia. Songong. Ah, bikin stress.

            Kalau kata Heri, sebenarnya hal seperti itu adalah sebuah pembelajaran buat diri sendiri. Melatih berpikir keras untuk mempertahankan pendapat sembari menguatkan argumen. Ya, saya setuju pendapat itu. Bagi saya, itu adalah ujian mental yang bagus. Bagaimana ketika kamu dipaksa untuk menyikapi suatu hal, tetapi harus didukung dengan argumentasi yang kuat. Sehingga sikap kamu itu logis dan bisa dipertanggungjawabkan, karena didukung oleh landasan berpikir yang kuat.

Seringkali yang saya lihat dilingkungan sekitar adalah, bahwa begitu banyak orang yang mengatakan berbagai macam hal, namun yang nampak dari perkataannya itu hanyalah omong kosong saja. Ujung-ujungnya malah seperti ‘acting based on text book’. Kamu menelan apapun yang datang kepadamu dan kamu membicarakannya ke orang-orang, namun sebenarnya kamu bingung sendiri. Bingung, karena kamu hanya digerakan oleh ide-ide yang datang kepadamu, tanpa mau pusing-pusing menanyakan apa, kenapa dan bagaimana-nya. Cukup menerima tanpa ada tindak lanjut untuk mengkritisinya, sehingga kamu tersesat di belantara ide yang deras menimpamu setiap harinya. Kamu hanya menjadi objek.

            Ketua presidium malam itu kelihatan kewalahan mengontrol jalannya sidang. Ya, malam memang sudah larut. Saya pun merasakan, bahwa otak ini sudah tidak berjalan dengan lancar. Tertimpa oleh rasa kantuk. Apalagi membayangkan menjadi presidium pada saat itu, diperlukan konsentrasi untuk memerhatikan setiap ide yang terlontar dari forum. Belum lagi memerhatikan ‘cara penyampaian ide’ dan ‘siapa yang menyampaikannya’…beuh, pekerjaan yang mengesalkan.

            “Ketua presidium, coba fokus! Yang saya maksudkan adalah sebuah usulan…!!!” kata seorang kawan di jajaran paling belakang dengan suara tinggi menyampaikan pendapatnya tentang suatu permasalahan…kalau tidak salah tentang pembahasan anggaran dasar.

            Saya dan Yanyan cekikian melihat ketua presidium saat itu kerepotan mengatur setiap ide yang muncul dalam forum. Memang saat itu saya merasa topik pembicaraan berputar-putar. Hal yang membedakannya hanyalah cara penggunaan kalimat yang disampaikan oleh peserta forum, sedangkan untuk masalah ‘isi’, pada dasarnya itu-itu saja. Malah,  ada dari peserta forum yang dengan lantang dan suara tinggi mempermasalahkan tentang suatu hal. Akan tetapi hal yang dipermasalahkan itu seharusnya sudah selesai, bahkan sudah ada ketukan palu dari ketua presidium sendiri. Konyolnya, peserta forum itu tidak mengetahuinya. Haha, bodoh.

            Ketika saya dan Yanyan ramai cekikian melihat ketua presidium yang terlihat kewalahan mengatur jalannya sidang, sebenarnya ada hal yang membuat khawatir. Agenda pembahasan AD/ART itu sebentar lagi akan selesai dan dilanjutkan dengan agenda selanjutnya, yaitu pembahasan laporan pertanggungjawaban. Nah, dibagian inilah, ‘lapak’ saya dan Yanyan berada.

            “Yan, tiba-tiba jadi deg-degan euy,” kata saya.

            Seperti kebiasaan Yanyan, dia tersenyum dan selalu berbicara seperlunya. “Terus gimana atuh, Bo?” katanya.

            Bila membicarakan masalah ‘bagaimana’, saya selalu kerepotan sendiri, karena saya pun mempunyai kendala sendiri tentang hal itu. untuk urusan menguraikan benang kusut satu persatu masih menjadi kendala buat saya. Mengurut ide-ide menjadi susunan yang runut dan sistematis selalu menjadi permasalahan yang sulit dipecahkan hingga kini.

            Tidak beberapa lama, agenda pembahasan AD/ART selesai. Giliran untuk ketua presidium terpilih selanjutnya untuk maju. Giliran kami juga untuk maju. Cukup cemas juga.  Teman-teman yang lainnya menyiapkan kursi di depan forum. Ada sekitar 20-an yang akan maju di agenda pembahasan laporan pertanggungjawaban ini. Ada pemandangan yang bikin haru juga, ketika melihat kawan-kawan pengurus yang lain mulai duduk di tempat yang disediakan di depan forum. Melihat wajah-wajah yang selama ini menghiasi aktivitas saya selama kurang lebih tiga tahun di kampus. Sebelumnya saya tidak pernah ‘ngeh’ kalau wajah-wajah itu selalu menghiasi hari-hari saya dan memberinya warna, hingga di momen perhelatan besar itu.

            Agenda telah dimulai. Mba Jawa mulai membacakan laporan kegiatan kami selama setahun ini dihadapan forum. Saya bilang kepada Margrit yang duduk di sebelah saya, “Grit, coba aja liat, pas kita keluar dari ruangan ini, ada orang yang lari pagi di jalan. Trus ada pedagang bajigur sama tukang kuda yang lewat.”

            Si Margrit nyengir. Malah ngegambar babi dengan tulisan ‘ngok’ di kertas laporan pertanggungjawaban saya.

             “Ini ngapain kegiatan jurnal 04 ke Ciwidey dimasukin ke agenda divisi media. Apa pentingnya kegiatan ini?!” tanya seorang teman di – seperti biasa – jajaran belakang.

            Deg. Ini mah bagian gua, bukan  bagian si Evy. Kebetulan saat itu Evy memang sedang mempertanggungjawabkan diurna.

            Setelah Evy selesai dengan lpj-nya, giliran saya maju untuk menjelaskan tentang kegiatan ke Ciwidey itu. Sebenarnya itu adalah bagian dari kegiatan non-formal himpunan. Karena memang, di halaman event tersebut ada dua kegiatan, yaitu formal dan non-formal. Formal bersifat kegiatan rutin himpunan dan non-formal, adalah kegiatan yang sifatnya lebih ke ‘hiburan’, seperti touring, main ke gunung dll.

            Dan menurut saya, teman yang duduk di jajaran belakang itu, tidak mempunyai frame yang sama tentang hal tersebut. Asumsi saya, ia menganggap, bahwa kegiatan seperti itu tidak tepat untuk dimasukan pada laporan pertanggungjawaban himpunan yang sifatnya formal.

            Lalu, secara sepintas, saya menangkap kesan, bahwa teman saya itu mencoba mengesankan anggota forum lainnya, bahwa saya mendiskriminasikan sebagian anggota forum, khususnya angkatan ’05. hal itu terjadi, karena kegiatan yang ada di Web hanya kegiatan angkatan saya saja. Padahal tidak begitu alasannya.

Faktanya adalah, bahwa setelah situs berjalan, ternyata dibutuhkan kontributor tiap angkatan agar bisa meliput setiap kegiatan non-formal. Ternyata dua orang mengurus situs saja tidak cukup, karena dengan begitu, kegiatan tiap angkatan tidak dapat terliput seluruhnya. Saya dan Ganjar cukup kewalahan apabila harus meliput semua kegiatan non-formal. Diperlukan kontributor dari tiap angkatan agar semua kegiatan non-formal dapat dimasukan ke web.  Dan mudah-mudahan hal tersebut dapat terlaksana di kepengurusan yang selanjutnya.

Momen menjawab pertanyaan sebagian anggota forum itu benar-benar cukup menyebalkan, karena mata saya benar-benar berat oleh rasa kantuk. Saya tidak bisa fokus lagi memperhatikan pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari anggota forum. Untungnya, untuk bagian saya tidak banyak yang bertanya. Hanya tiga orang.

Setelah selesai menjawab pertanyaan, saya dan Yanyan saling lirik…dan tersenyum, tentu. Terkesan seperti homo memang, tapi entahlah, ketika saya duduk tiba-tiba saya merasa lega. Akhirnya kepengurusan ini selesai. Namun, seperti ada rasa kekosongan juga. Mengetahui, bahwa ini adalah akhir dari kegiatan bersama kawan-kawan, khususnya kawan seangkatan. Setelah ini, mungkin kami tidak bisa bertemu lagi dikarenakan kesibukan masing-masing.

“Curang, maneh teu kabagean di tanya-tanya,” kata saya ke Yanyan setelah beres laporan pertanggungjawaban.

“hehe, teuing, Bo,” jawabnya ala kadar.     

 

Kekeliruan Yang Fatal

Ada kekeliruan fatal sehubungan dengan isi kampanye salah satu dari dua calon ketua himpunan pada mubes Sabtu, 26 April 2008 kemarin. Kekeliruan itu terjadi ketika salah satu calon mengatakan di hadapan peserta forum yang akan memilih, bahwa tim suksesnya tidak bekerja secara maksimal dalam mengkampanyekan pencalonan dirinya. Jujur, saya kecewa mendengar jawaban seperti itu.

            Kenapa saya sebut itu kekeliruan yang fatal? Karena hal itu hanya akan menjatuhkan dirinya sendiri dalam pemilihan. Urusan-urusan kelemahan ‘dapur’ sendiri, seperti kinerja tim sukses yang tidak maksimal seperti itu seharusnya tidak usah diperbincangkan di hadapan peserta forum, karena itu hanya mencerminkan ketidak kompakan timnya. Selain itu, akan mengesankan, bahwa calon ketua tidak mempunyai kredibilitas dalam hal kepemimpinan. Terbukti, ada seseorang peserta forum yang menanyakan dengan tanda seru, “bagaimana Anda akan memimpin kami, bila memimpin tim sukses sendiri saja tidak mampu?!”

            Entah apa masalahnya kenapa ia mengatakan hal seperti itu. Suasana kampanye saat itu memang cukup dipanaskan oleh pertanyaan-pertanyaan anggota forum yang cukup menguras otak. Belum lagi ‘cara penyampaian pertanyaan’ dan ‘siapa yang menyampaikannya’ dari sebagian peserta forum juga membuat kuat-lemahnya mental diuji.

            Selain itu, suasana jalannya mubes, menurut saya sudah tidak kondusif sekali. Pertama, mubes sudah berjalan seharian penuh. Acara dimulai Jum’at, 25 April 08 pukul 21.00 wib dan agenda kampanye calon ketua baru dimulai Sabtu, 26 April 08 sekitar pukul 07.30 wib. Mubes yang berjalan non-stop tersebut, tentunya akan membuat stamina setiap orang menurun. Hal itu juga terlihat pada kedua calon ketua yang nampak sekali kewalahan. Khususnya ia yang sering menundukkan kepala.

            Asumsi saya, dihadapkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang menguras otak dan fakta, bahwa mubes sudah berjalan sehari penuh, saya berpendapat ia merasa terpojokkan oleh pertanyaan-pertanyaan sebagian anggota forum dan merasa kewalahan atas lamanya mubes berjalan.

Bila asumsi saya memang benar, maka saya mengambil simpulan, bahwa secara fisik dan mental, ia lemah. Dan ketika mentalnya terpojokkan sedemikian rupa seperti di Sabtu kemarin, saya menangkap kesan, bahwa ia seperti mencari kambing hitam atas ketidakmampuannya menjawab berbagai pertanyaan yang berpretensi memojokkan itu. Contohnya, seperti kejadian dimana ia mengatakan kekurangan tim suksesnya itu.  

             Cukup disayangkan juga, sih, dia bertindak seperti itu…gamang ketika dipojokkan sedemikian rupa. Ah, toh, perhelatan itu sudah berlalu. Sekarang saatnya untuk memulai yang baru buat kawan-kawan yang akan menjadi pengurus himpunan. Saatnya untuk bekerja lagi, pusing-pusing ria lagi, meneruskan apa yang baik dan membuang yang buruk dari kepengurusan tahun kemarin. Seperti kata Heri, teman saya, semuanya adalah pembelajaran. Keep on learning, lads!